A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Jumat, 29 Oktober 2010

Regenerasi Pemandi Jenazah : Patah Baru Tumbuh, Hilang Baru Berganti

Penyelenggaraan jenazah dalam Islam hukumnya adalah fardu kifayah, artinya kewajiban semua orang. Tapi kalau ada yang sudah mengambil tanggung jawab itu, maka yang lain tidak wajib lagi. Itulah kenapa memandikan jenazah merupakan pekerjaan yang terhormat, tidak hanya di mata manusia, tapi juga di mata Tuhan. Sebab, dia menangani tugas orang banyak sehingga banyak orang yang akan bebas dari tanggung jawab. Namun, banyak orang yang justru tidak berminat untuk menekuni profesi ini.

Ulama H Ibrahim Hasani mengungkapkan bahwa dalam pandangan Islam, jenazah tetaplah sosok manusia yang terhormat sehingga harus diperlakukan dengan penuh hormat pula.

Setidaknya ada empat kewajiban dalam penyelenggaraan jenazah, mulai dari memandikan, mengafankan, menyalatkan, sampai menguburkan. Dapat dikatakan, setiap tahap itu mengandung doa untuk mengantarkan si mayat ke alam barzah supaya dia diterima di sisi Tuhan.

“Kecuali orang mati syahid, karena jalannya sudah lempeng. Tidak dimandikan, tidak dikafankan, juga tidak disalatkan, tapi dikuburkan apa adanya,” ujar salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Kalsel tersebut.

Dari pengamatannya, penyelenggaraan jenazah di tengah masyarakat Banjarmasin selama ini berjalan cukup lancar. Hanya saja, yang menjadi keprihatinannya adalah umumnya tenaga pemandian jenazah adalah orang-orang tua.

“Memang profesi ini sepertinya kurang digemari, kecuali dalam keadaan yang mendesak. Artinya, tidak ada lagi yang bisa memandikan. Seperti peribahasa, patah baru tumbuh, hilang baru berganti. Semestinya, regenerasi itu tumbuh sebelum patah, berganti sebelum hilang,” ucapnya.

Tentu ada beberapa faktor yang melatarbelakangi keadaan ini. Pertama, memang untuk memandikan jenazah ini tidak setiap orang mampu. Barangkali, karena kematian itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius dan gaib, banyak hal yang tidak kita ketahui. Nah, karena ketidaktahuan itulah kemudian jadi menakutkan.

“Orang lebih enak menghadapi orang yang masih hidup, bisa tersenyum. Kalau orang mati tersenyum justru bikin takut,” imbuhnya.

Padahal, menurut pensiunan dosen di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin ini, tidak ada yang perlu ditakuti dengan sosok jenazah karena mereka sudah tidak bernyawa. Justru yang harus ditakuti itu sebetulnya adalah orang yang masih hidup. Menghadapi orang hidup, tentu kita harus berhati-hati karena mereka bisa tersinggung.

“Tapi orang mati kan sudah tidak bisa apa-apa. Tapi entah kenapa orang takut, saya tidak mengerti juga,” katanya.

Dikisahkan, dulu sewaktu masih aktif menjadi pengajar di IAIN Antasari Banjarmasin, ia selalu membekali mahasiswa yang akan melakukan KKN dengan praktek memandikan jenazah. Tapi, akhirnya tidak terpakai juga karena di kampung-kampung itu sudah ada tetuha-tetuha setempat yang bisa melakukannya. Tapi setelah mereka terjun ke masyarakat dan kembali ke kampungnya, biasanya keterampilan itu akan terpakai.

Kemudian, ulama yang kini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Mesjid Kota Banjarmasin itu juga menyoroti soal persepsi masyarakat yang keliru soal pemandi jenazah. Penghargaan masyarakat terhadap pemandi jenazah terkadang tidak seberapa jika dibanding dengan misalnya pembaca talkin. Padahal, memandikan itu adalah hal yang diwajibkan, sedangkan talkin sifatnya hanya kegiatan tambahan saja. Andaikata tidak ditalkinkan pun sebetulnya tidak apa-apa.

“Nah, itulah juga salah satu sebabnya kenapa pekerjaan memandikan jenazah ini menjadi kurang menarik, kalah mentereng. Di kota besar, sekarang ada semacam bisnis lembaga layanan penyelenggaraan jenazah, seperti di Jakarta. Tidak seperti di kampung-kampung, hubungan di lingkungan masih kuat sehingga tidak perlu lembaga semacam itu, tapi di kota besar susah mencari rukun kematian,” tuturnya.

Yang menarik, dari pengamatannya selama ini, banyak di antara petugas pemandi jenazah yang belajar secara otodidak ketimbang belajar secara khusus. Oleh karena itu, sering ditemukan cara memandikan jenazah yang beragam di tengah masyarakat. Tapi menurutnya itu tidak apa-apa karena perbedaan hanya menyangkut teknis, sedangkan syarat dan rukunnya tetap terpenuhi.

Meski demikian, ia berharap regenerasi para pemandi jenazah perlu dilakukan melalui lembaga pendidikan khususnya agama, seperti di pesantren atau madrasah.

“Perlu ada praktek memandikan jenazah. Materinya tidak banyak, cukup 2-3 kali pertemuan, dan tidak perlu dimasukkan dalam kurikulum karena sifatnya hanya keterampilan saja seperti halnya keterampilan memasak dan lain-lain,” katanya.


Ada Pelatihan Rutin Setiap Tahun

Untuk memastikan regenerasi tenaga pemandi jenazah berjalan dengan baik, Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Kota Banjarmasin setiap tahun secara rutin mengadakan pelatihan penyelenggaraan jenazah yang salah satu materinya adalah mengenai pemandian jenazah.

“Yang dibina diharapkan untuk menularkan ilmunya kepada yang belum tahu. Tapi kekosongan petugas insya Allah tidak akan terjadi karena memandikan jenazah adalah fardu kifayah sehingga merupakan kewajiban semua orang. Kekosongan hanya terjadi sesaat, karena kalau tidak ada harus tetap dicarikan orang yang bisa melakukan pekerjaan itu,” ujar Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kanwil Kemenag Kota Banjarmasin, Drs HM Sufiyan H MAP.

Pelatihan sendiri berbentuk semacam orientasi atau penataran yang diadakan secara berkala setiap setahun sekali di lima kecamatan yang ada. Pesertanya terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, penghulu, serta kalangan muda yang dikenal aktif di lingkungan tempat tinggalnya. Sedangkan materi diberikan oleh narasumber yang kompeten dan diikuti dengan praktek. Dalam satu kegiatan pelatihan ini, rata-rata pesertanya berjumlah lebih dari 50 orang.

“Setelah terjun ke masyarakat, diharapkan mereka bisa menerapkan ilmunya, bahkan menularkannya,” imbuhnya.

Sayangnya, pihaknya tidak memiliki data soal jumlah tenaga pemandi jenazah yang ada di Banjarmasin. Namun, pihaknya menjamin penyelenggaraan jenazah di daerah ini tidak pernah terbengkalai, buktinya tidak ada keluhan dari masyarakat. Apalagi hampir di seluruh kelurahan ada rukun-rukun kematian yang mengurus prosesi penyelengggaraan jenazah dengan segala kebutuhannya.

Meski demikian, harus diakui bahwa peminat profesi pemandi jenazah ini memang umumnya kaum tua. Sedangkan kaum muda yang tertarik sangat langka. Hal ini tak terlepas dari persepsi masyarakat yang salah terhadap sosok jenazah atau mayat yang kerap dianggap menyeramkan.

“Takut, alergi, dan sebagainya, karena kematian itu tidak setiap hari terjadi. Mungkin kalau setiap hari, orang akan bersikap biasa-biasa saja,” ucapnya.

Pihaknya juga menyayangkan tidak efektifnya materi soal penyelenggaraan jenazah ini di bangku sekolah, khususnya di sekolah Islam.

“Kalau di madrasah ada, kalau di sekolah umum saya tidak mengerti. Tapi teorinya saja, prakteknya tidak,” katanya.


Suka Duka Menjadi Pemandi Mayat
Bisa Karena Terpaksa

H Ibrahim Hasani kerap diundang kesana-kemari sebagai trainer penyelenggaraan jenazah, termasuk yang diadakan oleh Kanwil Kemenag Kota Banjarmasin.

NAZAT FITRIAH, Banjarmasin

Di lingkungan tempat tinggalnya saat ini di Jl Bawang Putih RT 42 Gatot Subroto, ia juga melatih masyarakat sekitarnya agar mampu melaksanakan penyelenggaraan jenazah ini sendiri. Namun, bukan berarti semua bisa dilakukan dengan mulus. Diakuinya, sempat ada kesulitan juga dalam mengajak masyarakat. Yang paling susah adalah mengajak anak-anak muda dan ibu-ibu.

“Sejak berdiam di sini tahun 1980-an, mulai dari kosong sampai banyak rumah, memang cukup sulit untuk mengajak masyarakat. Tapi kita coba beri arahan seputar penyelenggaran jenazah supaya mengerti semua dan masing-masing lingkungan bisa melakukan sendiri. Padahal tidak susah, asal ada kesediaan,” ungkapnya.

Ia sendiri seorang pemandi jenazah. Profesi mulia itu mulai digelutinya lebih dari 37 tahun lalu, tepatnya dari tahun 1973. Kala itu ia bermukim di daerah Kuripan. Sama seperti kebayakan orang, ia pun awalnya mengaku takut.

“Waktu itu saya menjadi pengurus mesjid, kalau ada yang meninggal saya bertugas mencarikan orang untuk memandikan. Harus dapat itu, karena kalau tidak saya yang harus melakukannya. Sampai akhirnya, saya tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya, berlanjut sampai sekarang,” ceritanya.

Selama lebih tiga dasawarsa menjalankan dinas, demikian ia menyebut pekerjaannya tersebut, hampir tidak ada pengalaman aneh yang dialaminya seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang awam.

“Saya sejak awal belajar menghadapi mayat untuk mengatasi rasa takut dan supaya jangan menemui hal-hal yang bermasalah. Setelah belajar, hampir tidak pernah menemui masalah,” ujarnya.

Ia sendiri tidak ingin berpikir yang macam-macam bagaimanapun kondisi jeanzah yang dihadapi. Misalnya yang berbau busuk, menurutnya itu hal yang alami dan ia tidak ingin menduga yang tidak-tidak.

“2-4 jam biasanya belum tercium, tapi setelah itu terutama setelah 8 pasti tercium. Itu kalau keadaan biasa. Kalau tidak biasa, seperti korban kecelakaan biasanya pembusukkannya lebih cepat, 4 jam sudah keluar aroma. Jadi, sesuatu yang luar biasa itu bukan apa-apa. Saya tidak ingin menganggap ada apa-apa, itu proses alami manusia,” terangnya.

Karena tidak bisa menghidari, lanjutnya, maka ia pun merasa harus belajar agar semua masalah bisa dihadapi. Berkat belajar tadi pula, ia mampu menyelesaikan setiap halangan yang ditemui.

“Pernah ada yang tidak bisa dikiyamkan (kedua tangan ditumpangkan ke dada, red) karena selama bertahun-tahun stroke sehingga tangannya tidak pernah digerakkan. Karena kita berlajar, bisa kita atasi. Mayat berbau luar biasa sampai hampir muntah, karena kita belajar tidak tercium lagi baunya dan sampai selesai tidak ada masalah. Begitu juga kelainan seperti mayat mengeluarkan darah, kotoran, dan sebagainya,” bebernya.

Yang unik, ada tradisi yang berlaku di tengah masyarakat Banjar dimana mereka suka memberikan barang-barang seperti sarung yang digunakan untuk menutupi jenazah maupun sabun untuk memandikan jenazah kepada orang yang memandikan. Bagaimana tradisi ini muncul dan apa tujuannya, ia tidak tahu pasti. Yang jelas, ia punya banyak sekali barang-barang tersebut karena kebutulan sang istri juga menekuni profesi yang sama.

“Susah juga mau menolak karena barang-barang itu biasanya diantar ke rumah. Waktu anak-anak saya masih kecil, begitu diantari barang-barang itu biasanya langsung dibuang oleh mereka karena bekas mayat itu tadi. Tapi akhirnya kami beri-berikan juga karena saking banyaknya,” tuturnya.

Tidak ada komentar: