Lagi, Dewan Usulkan Satgas
BANJARMASIN- Lagi, DPRD Kota Banjarmasin usulkan pembentukkan satgas (satuan tugas). Kali ini, tujuannya untuk mengusut tuntas sejumlah dugaan penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan, seperti maraknya pungutan liar (pungli).
Selain kerap menimpa orang tua murid, para guru ternyata juga tak luput menjadi korban praktek ilegal ini. Dalam rapat kerja dengan jajaran Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Banjarmasin kemarin (10/1), Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin membeberkan hasil temuannya bahwa sejumlah guru mengaku harus membayar Rp 250 ribu untuk membuat kartu pegawai (karpeg). Demikian pula untuk mendapatkan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), konon mereka mesti menyetorkan sejumlah uang sebagai pelicin.
Karpeg adalah kartu identitas Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan DP3 merupakan hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan seorang PNS yang salah satunya berfungsi sebagai persyaratan kenaikan pangkat. Pembuatan kedua item ini semestinya tidak dipungut biaya karena memang hak pegawai dan menjadi kewajiban instansi terkait yang berwenang mengeluarkannya untuk memberikannya. Namun, fakta di lapangan justru berkata sebaliknya.
Mendengar laporan tersebut, Kepala Disdik Kota Banjarmasin, Drs H Nor Ipansyah MPd pun dibuat terkejut. Sepengetahuannya, selama ini pihaknya tidak pernah menemui kasus semacam itu.
“DP3 dibuat oleh sekolah, sedangkan kami hanya tanda tangan. Barangkali penyimpangan ini terjadi di tingkat sekolah, tapi menjual nama Disdik,” katanya.
Demikian pula dalam pembuatan karpeg, pihaknya hanya memberikan surat pengantar. Karpeg diusulkan oleh sekolah untuk guru-guru yang baru diangkat menjadi PNS, kemudian oleh Disdik dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Banjarmasin dibuatkan surat pengantar, sedangkan yang memprosesnya adalah BKD Provinsi Kalsel.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin, Ananda SKed mengatakan bahwa dalam kasus ini, celah penyimpangan terbesar nampaknya memang ada di tingkat sekolah karena Disdik hanya menerima data masak. Sayang, ia menolak membeberkan di sekolah mana saja indikasi penyimpangan itu ditemui. Pasalnya, dari pengalaman yang sudah-sudah, mereka yang membocorkan soal penyimpangan itu biasanya akan mendapat tekanan dari pihak sekolah.
“Nanti kami kesulitan untuk mendapatkan informasi lagi. Selain itu, kami juga masih perlu kroscek kebenarannya,” ujarnya.
Di samping dugaan pungli, ada pula dugaan bahwa dana tunjangan untuk guru sekolah pinggiran telah disunat karena sejumlah guru di beberapa sekolah pinggiran mengaku tak menerima tunjangan yang besarnya Rp 125 ribu per bulan tersebut. Selain itu, penyimpangan juga diduga terjadi pada pemberian insentif bagi kepala sekolah SD dan SMP yang memenuhi jam mengajar sebanyak enam jam per minggu yang diambil dari dana BOS. Konon, banyak kepala sekolah yang tetap menerima insentif meski tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
Nah, carut marut wajah dunia pendidikan di daerah inilah kemudian yang mendorong Komisi IV mengusulkan agar Disdik membentuk satgas guna melakukan investigasi terhadap semua isu yang berkembang. Anggota Komisi IV, Drs Johansyah mengatakan bahwa pendidikan mendapat porsi anggaran yang paling besar sehingga sangat ironis jika masih terjadi begitu banyak penyimpangan.
“Isu-isu ini sudah lama kita dengar, nah sekarang bagaimana Disdik bisa meredamnya,” tandasnya.
BANJARMASIN- Lagi, DPRD Kota Banjarmasin usulkan pembentukkan satgas (satuan tugas). Kali ini, tujuannya untuk mengusut tuntas sejumlah dugaan penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan, seperti maraknya pungutan liar (pungli).
Selain kerap menimpa orang tua murid, para guru ternyata juga tak luput menjadi korban praktek ilegal ini. Dalam rapat kerja dengan jajaran Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Banjarmasin kemarin (10/1), Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin membeberkan hasil temuannya bahwa sejumlah guru mengaku harus membayar Rp 250 ribu untuk membuat kartu pegawai (karpeg). Demikian pula untuk mendapatkan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), konon mereka mesti menyetorkan sejumlah uang sebagai pelicin.
Karpeg adalah kartu identitas Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan DP3 merupakan hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan seorang PNS yang salah satunya berfungsi sebagai persyaratan kenaikan pangkat. Pembuatan kedua item ini semestinya tidak dipungut biaya karena memang hak pegawai dan menjadi kewajiban instansi terkait yang berwenang mengeluarkannya untuk memberikannya. Namun, fakta di lapangan justru berkata sebaliknya.
Mendengar laporan tersebut, Kepala Disdik Kota Banjarmasin, Drs H Nor Ipansyah MPd pun dibuat terkejut. Sepengetahuannya, selama ini pihaknya tidak pernah menemui kasus semacam itu.
“DP3 dibuat oleh sekolah, sedangkan kami hanya tanda tangan. Barangkali penyimpangan ini terjadi di tingkat sekolah, tapi menjual nama Disdik,” katanya.
Demikian pula dalam pembuatan karpeg, pihaknya hanya memberikan surat pengantar. Karpeg diusulkan oleh sekolah untuk guru-guru yang baru diangkat menjadi PNS, kemudian oleh Disdik dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Banjarmasin dibuatkan surat pengantar, sedangkan yang memprosesnya adalah BKD Provinsi Kalsel.
Ketua Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin, Ananda SKed mengatakan bahwa dalam kasus ini, celah penyimpangan terbesar nampaknya memang ada di tingkat sekolah karena Disdik hanya menerima data masak. Sayang, ia menolak membeberkan di sekolah mana saja indikasi penyimpangan itu ditemui. Pasalnya, dari pengalaman yang sudah-sudah, mereka yang membocorkan soal penyimpangan itu biasanya akan mendapat tekanan dari pihak sekolah.
“Nanti kami kesulitan untuk mendapatkan informasi lagi. Selain itu, kami juga masih perlu kroscek kebenarannya,” ujarnya.
Di samping dugaan pungli, ada pula dugaan bahwa dana tunjangan untuk guru sekolah pinggiran telah disunat karena sejumlah guru di beberapa sekolah pinggiran mengaku tak menerima tunjangan yang besarnya Rp 125 ribu per bulan tersebut. Selain itu, penyimpangan juga diduga terjadi pada pemberian insentif bagi kepala sekolah SD dan SMP yang memenuhi jam mengajar sebanyak enam jam per minggu yang diambil dari dana BOS. Konon, banyak kepala sekolah yang tetap menerima insentif meski tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
Nah, carut marut wajah dunia pendidikan di daerah inilah kemudian yang mendorong Komisi IV mengusulkan agar Disdik membentuk satgas guna melakukan investigasi terhadap semua isu yang berkembang. Anggota Komisi IV, Drs Johansyah mengatakan bahwa pendidikan mendapat porsi anggaran yang paling besar sehingga sangat ironis jika masih terjadi begitu banyak penyimpangan.
“Isu-isu ini sudah lama kita dengar, nah sekarang bagaimana Disdik bisa meredamnya,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar