BANJARMASIN – Meski rencana pemberian ganti rugi kepada petani yang mengalami gagal panen atau puso melalui program Bantuan Penanggulangan Padi Puso (BP3) sudah menjadi pembicaraan hangat sejak beberapa bulan lalu, namun pemerintah sendiri sangat berhati-hati dalam memberikan keterangan terkait realisasi kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena masalah pembiayaannya yang ditangani oleh Direktorat Pembiayaan Pertanian Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian hingga kini belum clear.
“Dengungnya memang begitu dahsyat, setiap saya berkunjung ke daerah selalu ditanyakan,” ujar Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Erma Budianto saat berada di Banjarmasin , kemarin.
Namun demikian, pemerintah daerah sudah diinstruksikan untuk segera melakukan pendataan dan verifikasi terhadap lahan persawahan yang mengalami puso.
“Mudah-mudahan begitu dananya keluar, proses verifikasi juga telah selesai,” katanya.
Ia mengungkapkan, BP3 diluncurkan oleh pemerintah guna mempertahankan produksi padi sehingga ketahanan pangan terjaga. Pemerintah pun memutuskan agar padi yang puso cepat diganti supaya tidak mempengaruhi produksi pada tahun itu sehingga peningkatan produksi dapat dipertahankan.
“Jadi, bukan sosial saja, tapi ada hubungannya dengan mempertahankan produksi,” tukasnya.
Dijelaskannya, padi puso yang mendapatkan ganti rugi adalah yang mengalami gagal panen pada periode 16 Maret-31 Desember 2011 dengan tingkat kegagalan sedikitnya 75 persen. Selain itu, usia tanaman harus minimal 30 hari.
Ganti rugi diberikan sebesar Rp 2,6 juta perhektar untuk biaya pengolahan tanah, penanaman, dan pemeliharaan, ditambah pupuk dan benih sehingga totalnya menjadi Rp 3,7 juta perhektar yang akan langsung disetorkan ke rekening kelompok tani.
“Untuk lahan Lebak tidak bisa diganti rugi karena setelah mendapat bantuan petani harus langsung menanam, sedangkan di lahan lebak tidak bisa secepatnya menanam,” tambahnya.
Selanjutnya, petani penerima BP3 harus tergabung dalam kelompok tani dan terus melanjutkan berusaha tani padi selama periode 2011.
“Mekanismenya nanti petugas penyuluh melakukan pendataan di lapangan, kemudian melaporkan ke dinas pertanian kabupaten atau kota, dan selanjutnya diusulkan ke dinas pertanian provinsi,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura (Distan TPH) Kalsel Sriyono mengatakan, kebijakan ini sangat berat, terutama bagi para verifikator, serta bisa berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Oleh sebab itu, ia tak mau terlalu terbuka mengenai masalah pendataan calon penerima bantuan.
“Saya sendiri tidak berani memberikan janji-janji karena kebijakan ini belum implementatif atau belum diterapkan,” ucapnya.
“Dengungnya memang begitu dahsyat, setiap saya berkunjung ke daerah selalu ditanyakan,” ujar Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Erma Budianto saat berada di Banjarmasin , kemarin.
Namun demikian, pemerintah daerah sudah diinstruksikan untuk segera melakukan pendataan dan verifikasi terhadap lahan persawahan yang mengalami puso.
“Mudah-mudahan begitu dananya keluar, proses verifikasi juga telah selesai,” katanya.
Ia mengungkapkan, BP3 diluncurkan oleh pemerintah guna mempertahankan produksi padi sehingga ketahanan pangan terjaga. Pemerintah pun memutuskan agar padi yang puso cepat diganti supaya tidak mempengaruhi produksi pada tahun itu sehingga peningkatan produksi dapat dipertahankan.
“Jadi, bukan sosial saja, tapi ada hubungannya dengan mempertahankan produksi,” tukasnya.
Dijelaskannya, padi puso yang mendapatkan ganti rugi adalah yang mengalami gagal panen pada periode 16 Maret-31 Desember 2011 dengan tingkat kegagalan sedikitnya 75 persen. Selain itu, usia tanaman harus minimal 30 hari.
Ganti rugi diberikan sebesar Rp 2,6 juta perhektar untuk biaya pengolahan tanah, penanaman, dan pemeliharaan, ditambah pupuk dan benih sehingga totalnya menjadi Rp 3,7 juta perhektar yang akan langsung disetorkan ke rekening kelompok tani.
“Untuk lahan Lebak tidak bisa diganti rugi karena setelah mendapat bantuan petani harus langsung menanam, sedangkan di lahan lebak tidak bisa secepatnya menanam,” tambahnya.
Selanjutnya, petani penerima BP3 harus tergabung dalam kelompok tani dan terus melanjutkan berusaha tani padi selama periode 2011.
“Mekanismenya nanti petugas penyuluh melakukan pendataan di lapangan, kemudian melaporkan ke dinas pertanian kabupaten atau kota, dan selanjutnya diusulkan ke dinas pertanian provinsi,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura (Distan TPH) Kalsel Sriyono mengatakan, kebijakan ini sangat berat, terutama bagi para verifikator, serta bisa berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Oleh sebab itu, ia tak mau terlalu terbuka mengenai masalah pendataan calon penerima bantuan.
“Saya sendiri tidak berani memberikan janji-janji karena kebijakan ini belum implementatif atau belum diterapkan,” ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar