A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Rabu, 20 Juli 2011

Distribusi BBM Bak Benang Kusut

BANJARMASIN – Pengawasan terhadap distribusi bahan bakar minyak (BBM) di wilayah Kalimantan Selatan dinilai sudah cukup ketat. Adapun yang menjadi pokok masalah kelangkaan BBM khususnya jenis solar yang melanda Kalsel dalam beberapa bulan terakhir adalah kuota yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendapat tersebut diutarakan Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Kalsel Adi Chaeruddin yang ditemui disela sosialisasi pengendalian dan pengawasan pendistribusian BBM bersubsidi yang digelar Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas di Banjarmasin, kemarin.
“Kita sudah berkoordinasi dengan aparat untuk mengamankan penyaluran, jadi saya kira pengawasan sudah cukup. Ini sebabnya dari suplai yang kurang,” cetusnya.
Menurutnya, selama ini peningkatan konsumsi BBM oleh masyarakat di Kalsel tidak diikuti dengan peningkatan kuota yang memadai. Ia juga mengaku telah mengajukan usulan penambahan kuota kepada pemerintah provinsi untuk tahun 2011 ini.
“Pengawasan memang perlu, tapi kita juga butuh solusi, misalnya dengan menambah kuota BBM bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” tukasnya.
Sementara itu, Direktur BBM BPH Migas Erie Soedarmo mengakui, permasalahan kuota BBM selama ini ibarat benang kusut. Pasalnya, kuota untuk konsumsi umum dan komersial jadi satu. Oleh sebab itu, selama empat tahun ini pihaknya terus menggodok sistem pendistribusian BBM bersubsidi yang lebih baik yang ditargetkan dapat mulai dijalankan pada tahun 2012 mendatang.
“Dalam distribusi BBM bersubsidi, orientasinya bukan volume, tapi bagaimana agar tepat sasaran. Di sini peran pemerintah sangat fundamental. Oleh karena itu, peran pemerintah juga harus ada dalam strategi dan penentuan sistem distribusi,” tuturnya.
Selama ini, lanjutnya, pengawasan hanya dilakukan sampai BBM masuk ke SPBU, sedangkan penyaluran hingga ke pengguna akhir luput dari pantauan.
Agar pengawasan lebih mudah, maka ke depannya SPBU penyalur harus dikategorikan, mana yang untuk kendaraan umum dan mana yang untuk komersial, tapi tetap dengan harga yang sama.
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat terbiasa membeli BBM pada tempatnya, sehingga saat dilaksanakan pengendalian, dapat diketahui berapa kebutuhan masing-masing kategori tersebut.
Selain itu, alokasi juga akan ditetapkan bersama-sama dengan pemerintah daerah selaku pihak yang paling mengetahui kebutuhan di daerahnya.
“Sekarang ongkos pengawasan besar betul karena sistemnya tidak betul,” ujarnya.
Ditambahkannya, sistem ini lebih realistis diterapkan dalam pengendalian BBM bersubsidi daripada memaksa masyarakat menggunakan Pertamax. Di sisi lain, investasi yang dibutuhkan juga tidak banyak.
“Menambah jatah kuota harus jelas untuk siapa. Bagaimana mau jelas kalau gambaran penyalurannya saja tidak jelas kemana? Tidak ada yang akan dirugikan kalau pengaturan dilakukan, jatah Hiswana juga tidak akan berkurang,” tambahnya.
Sementara itu, dari data BPH Migas, selama periode Januari-Juni 2011 tercatat ada 155 kasus penyelewengan BBM bersubsidi yang kini sedang dalam proses hukum, terdiri dari 119 kasus dalam tahap penyidikan, 27 kasus telah P-21, dan sembilan kasus dalam tahap persidangan.
Penyelewengan terjadi secara merata di seluruh Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 1,7 triliun per-SBPU pertahun. Khusus di Kalsel, sedikitnya telah ada lima kasus penyelewengan BBM bersubsidi yang tertangkap.

Tidak ada komentar: