A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Selasa, 20 Desember 2011

Nasib Anak Putus Sekolah (1)

“Tak Enak Jadi Tukang”

Jam baru menunjukkan pukul 07.00. Ridhaul sudah bersiap meninggalkan rumahnya yang terletak di salah satu gang sempit di Komplek Cempaka Putih Banjarmasin. Dengan berjalan kaki, ia menuju sebuah sekolah negeri di bilangan Jl A Yani.

NAZAT FITRIAH, Banjarmasin

Sebenarnya, Ridhaul sudah lulus dari sekolah menengah pertama tersebut pada tahun 2011 ini tadi. Namun, karena tak ada biaya, ia tak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi, setiap hari ia masih setia datang ke almamaternya itu. Bukan untuk belajar, tapi menunggu kalau-kalau ada pekerjaan yang bisa dilakukannya di sekolah.
“Dulu sempat ikut kerja masang keramik di sini, upahnya Rp 40 ribu perhari. Satpam di sini yang sering mengajak saya ikut kerja,” ujarnya.
Sambil menunggu, ia biasa duduk-duduk di pos satpam. Terkadang, ia bisa betah berada di sana hingga sore, bahkan sampai malam. Selain untuk mencari uang, hal itu juga dilakukannya untuk menghibur diri. Di rumahnya yang lebih menyerupai gubuk itu tak ada apa-apa, termasuk televisi. Ridhaul sendiri hanya tinggal dengan ayahnya yang sudah lanjut usia dan setiap hari juga luntang-lantung mencari pekerjaan serabutan. Ibunya sudah meninggal. Sedangkan kakak-kakanya sudah menikah.
“Sunyi di rumah, tidak ada TV. Jadi, setiap hari ke sekolah menunggu proyek datang,” selorohnya.
Sudah dua kali ini Ridhaul putus sekolah. Sebelumnya, ia sempat bersekolah di sebuah SMP swasta sampai kelas satu. Karena masalah ekonomi, ia pun terpaksa berhenti. Setelah sempat putus sekolah selama sekitar empat tahun, berkat bantuan tetangganya yang seorang guru, ia bisa kembali sekolah hingga akhirnya lulus saat usinya sudah memasuki 19 tahun.
Namun, untuk kedua kalinya pendidikannya tertahan karena tak ada biaya untuk masuk SMA. Ia pun patah semangat. Sebenarnya, sang tetangga sempat berusaha membantu mencarikan beasiswa untuk anak putus sekolah.
“Tapi katanya bantuannya habis,” ucapnya.
Meski sudah merasakan enaknya mencari uang sendiri, Ridhaul tetap berharap dapat meneruskan sekolah minimal hingga SMA. Jika tak bisa masuk sekolah formal, ia berencana untuk mengikuti program kejar paket.
“Saya ingin mendapat pekerjaan yang baik nantinya. Tidak enak jadi tukang, kalau pekerjaannya selesai harus cari kerjaan baru lagi,” katanya.
Kisah tentang Ridhaul ini barangkali hanyalah satu di antara nasib miris yang dialami oleh anak-anak banua lainnya yang karena faktor ekonomi terpaksa putus sekolah. Pada tahun ajaran 2010/2011, data Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Banjarmasin menyebutkan bahwa ada 522 anak putus sekolah dari berbagai jenjang, terbanyak lulusan SMP sederajat yang akan menyambung ke SMA. Lantas, bagaimana perhatian Pemerintah Kota Banjarmasin terhadap penanganan anak-anak putus sekolah ini? (bersambung)

Tidak ada komentar: