Tak Ada Akses Jalan, Pulang Pergi Sekolah Naik Perahu
Sebuah perahu bercat hijau bergerak mendekat. Suara mesinnya terdengar menderu-deru. Di bibir dermaga yang sudah reyot, Putri (10) sabar menunggu perahu itu merapat sambil memegangi sepeda mininya yang berwarna biru.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Saat perahu tambat dan seluruh penumpangnya sudah turun, siswa kelas V SDN Mantuil 2 Banjarmasin itu pun melompat ke dalam perahu bersama sepedanya. Dermaga di seberang adalah tujuannya. Rumah Putri ada di sisi lain sungai yang lebarnya sekitar 30 meter itu, yang oleh warga sekitar disebut Pulau Bromo.
Meski kadang perahu bergoyang saat permukaan sungai bergelombang, gadis kecil itu sama sekali tak merasa takut. Selain sudah terbiasa, memang tak ada alternatif jalan lain baginya untuk pulang pergi sekolah selain dengan menumpang perahu tersebut.
“Dari kelas IV sudah biasa pergi sekolah sendiri,” ujarnya.
Sesuai namanya, daerah di mana Putri tinggal yang merupakan bagian dari Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, adalah sebuah pulau. Dikelilingi sungai, kawasan yang berpenduduk sekitar seribu jiwa itu seolah terisolir. Tak ada jalur darat yang menghubungkan Pulau Bromo dengan kawasan lain di sekitarnya, baik itu jalan maupun jembatan. Untuk menyeberang, masyarakat pun harus menggunakan jasa perahu penyeberangan.
Selain masyarakat setempat, mereka yang tinggal di luar Pulau Bromo juga banyak yang sangat bergantung pada jasa perahu penyeberangan. Seperti Wafa (14), siswi kelas VIII MTs Byna Taqwa. Satu-satunya sekolah menengah pertama yang ada di Pulau Bromo yang dibangun oleh perusahaan kayu PT Austral Byna itu merupakan sekolah yang terdekat dari tempat tinggalnya.
Meski untuk mencapai sekolah swasta tersebut mengharuskannya menyeberang sungai, tapi bagi gadis berwajah Arab itu tak jadi masalah. “Ada sih sekolah negeri, tapi lebih jauh,” ucapnya. Beberapa kali perahu penyeberangan yang tersisa satu-satunya terlambat datang. Akibatnya, Wafa ikutan terlambat sampai ke sekolahnya. Untungnya, pihak sekolah dapat memaklumi situasinya. “Kadang-kadang perahunya baru datang pukul 08.30,” tuturnya.
Di samping tak ada jalan penghubung dengan daerah lain, infrastruktur jalan yang ada di Pulau Bromo sendiri juga sangat tidak memadai. Selama puluhan tahun, masyarakat setempat akrab dengan titian kayu sepanjang kurang lebih satu kilometer yang berlubang-lubang, penuh tambalan, dan berderak-derak saat dijejak.
Lebarnya hanya sekitar satu meter, kalau dua buah kendaraan kebetulan berpapasan, maka salah satunya harus bertahan. M Riduan Akib, Ketua RT 06 RW 02 Jl Teluk Halinau Pulau Bromo mengungkapkan bahwa usulan perbaikan titian ini sudah sering diajukan, namun hingga saat ini tak kunjung ada realisasi.
“Tahun 2010 lalu rencananya titian ini mau diperbaiki sepanjang 90 meter dengan dana jaring asmara, tapi tiba-tiba tidak jadi,” katanya.
Tak banyak warga Banjarmasin yang mengetahui keberadaan pulau kecil ini di tengah gemerlap kota yang semakin ramai. Selain tertinggal dalam segala hal, infrastruktur yang minim membuat warganya tak bisa berbuat banyak. Pasrah dan selalu menunggu, itulah yang bisa dilakukan warga Pulau Bromo. Menunggu sampai kapan Pemerintah Kota Banjarmasin memperhatikan pembangunan Pulau Bromo agar warganya tak lagi merasa terasing.
Meski kadang perahu bergoyang saat permukaan sungai bergelombang, gadis kecil itu sama sekali tak merasa takut. Selain sudah terbiasa, memang tak ada alternatif jalan lain baginya untuk pulang pergi sekolah selain dengan menumpang perahu tersebut.
“Dari kelas IV sudah biasa pergi sekolah sendiri,” ujarnya.
Sesuai namanya, daerah di mana Putri tinggal yang merupakan bagian dari Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan, adalah sebuah pulau. Dikelilingi sungai, kawasan yang berpenduduk sekitar seribu jiwa itu seolah terisolir. Tak ada jalur darat yang menghubungkan Pulau Bromo dengan kawasan lain di sekitarnya, baik itu jalan maupun jembatan. Untuk menyeberang, masyarakat pun harus menggunakan jasa perahu penyeberangan.
Selain masyarakat setempat, mereka yang tinggal di luar Pulau Bromo juga banyak yang sangat bergantung pada jasa perahu penyeberangan. Seperti Wafa (14), siswi kelas VIII MTs Byna Taqwa. Satu-satunya sekolah menengah pertama yang ada di Pulau Bromo yang dibangun oleh perusahaan kayu PT Austral Byna itu merupakan sekolah yang terdekat dari tempat tinggalnya.
Meski untuk mencapai sekolah swasta tersebut mengharuskannya menyeberang sungai, tapi bagi gadis berwajah Arab itu tak jadi masalah. “Ada sih sekolah negeri, tapi lebih jauh,” ucapnya. Beberapa kali perahu penyeberangan yang tersisa satu-satunya terlambat datang. Akibatnya, Wafa ikutan terlambat sampai ke sekolahnya. Untungnya, pihak sekolah dapat memaklumi situasinya. “Kadang-kadang perahunya baru datang pukul 08.30,” tuturnya.
Di samping tak ada jalan penghubung dengan daerah lain, infrastruktur jalan yang ada di Pulau Bromo sendiri juga sangat tidak memadai. Selama puluhan tahun, masyarakat setempat akrab dengan titian kayu sepanjang kurang lebih satu kilometer yang berlubang-lubang, penuh tambalan, dan berderak-derak saat dijejak.
Lebarnya hanya sekitar satu meter, kalau dua buah kendaraan kebetulan berpapasan, maka salah satunya harus bertahan. M Riduan Akib, Ketua RT 06 RW 02 Jl Teluk Halinau Pulau Bromo mengungkapkan bahwa usulan perbaikan titian ini sudah sering diajukan, namun hingga saat ini tak kunjung ada realisasi.
“Tahun 2010 lalu rencananya titian ini mau diperbaiki sepanjang 90 meter dengan dana jaring asmara, tapi tiba-tiba tidak jadi,” katanya.
Tak banyak warga Banjarmasin yang mengetahui keberadaan pulau kecil ini di tengah gemerlap kota yang semakin ramai. Selain tertinggal dalam segala hal, infrastruktur yang minim membuat warganya tak bisa berbuat banyak. Pasrah dan selalu menunggu, itulah yang bisa dilakukan warga Pulau Bromo. Menunggu sampai kapan Pemerintah Kota Banjarmasin memperhatikan pembangunan Pulau Bromo agar warganya tak lagi merasa terasing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar