A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Minggu, 15 April 2012

Kala Sungai Tak Lagi Memberi Kehidupan


Lanting, Nasibmu Kini …

Lanting adalah identitas sejati masyarakat sungai. Tak sekedar tempat tinggal, lanting juga merupakan pengejawantahan filosofi hidup bersahabat dengan alam. Mungkinkah lanting tetap bertahan kala sungai tak lagi mampu menjadi sumber kehidupan?

NAZAT FITRIAH, Banjarmasin


Tak terasa sudah lebih dari 40 tahun Ita (55) menghabiskan hidupnya di atas lanting, tepatnya sejak ia menikah. Rumah sederhana beratap daun rumbia yang mengapung di tepi Sungai Martapura di kawasan Sungai Baru itu sudah ditempati secara turun temurun oleh keluarga suaminya dan tak pernah berpindah ke tempat lain. 

“Dari pedatuan, abah, sampai ke anak,” tuturnya kepada Radar Banjarmasin belum lama tadi. 

Usia rumah yang uzur tampak dari dinding kayu yang telah mengelupas dimakan rayap, serta teras yang bertambal-tambal. Namun demikian, perabotan di dalamnya tak beda dengan rumah pada umumnya. Di ruangan tengah terlihat ada televisi, kipas angin yang dipasang di plafon, dan meja rias. 

Di sinilah pasangan suami istri yang tak dikaruniai anak itu mengisi hari dengan menjahit kain untuk dijadikan kasur tidur sambil memandang siring Ujung Murung yang terlihat cantik dari kejauhan. Dari jendela, terlihat aliran Sungai Martapura yang kecokelatan, kadang tenang kadang beriak jika ada kelotok lewat. Penghuni lanting pun akan ikut bergoyang dibuatnya. 

Di kiri kanan, terdapat empat rumah lanting lain yang tidak kalah reyotnya. Menurut Ita, semua penghuni rumah lanting di kawasan Sungai Baru adalah keluarga dari suaminya, tidak ada orang lain. 

“Dulu jumlah lantingnya lebih banyak, tapi setelah pemiliknya meninggal tidak ada yang mewaris, sehingga akhirnya hilang,” ucapnya.

Ditanya sampai kapan akan tinggal di lanting, ia hanya mengatakan bahwa ia sudah terlanjur betah.
“Enak tinggal di lanting, terutama urusan air,” selorohnya. 

Selain di Sungai Baru, rumah lanting juga masih bisa ditemui di Muara Mantuil. Tapi untuk menjangkaunya agak sulit. Lebih nyaman dan aman kalau menggunakan kelotok. Sebenarnya bisa saja dengan menunggang sepeda motor, tapi harus menyeberang dengan kapal feri dari dermaga tak jauh dari kantor Kelurahan Mantuil (dulu dikelola PT Austral Byna, sekarang oleh LKMD) ke Jl Ujung Benteng Pulau Bromo. 

Di sini masyarakat tinggal di tepian sungai, dan sarana jalan yang ada hanya jembatan titian yang kondisinya lapuk dan berlubang. Dari dermaga sampai ke lanting yang ada di ujung pulau, jaraknya kira-kira 1 km. Kondisi ini membuat warga setempat juga lebih memilih menggunakan perahu atau kelotok untuk berjalan-jalan, misalnya ke pasar atau puskesmas. 

Hj Sinah (79) masih ingat pada tahun 1980-an, rumah lanting ramai bermunculan di Muara Mantuil. Tapi bukan sebagai tempat tinggal, melainkan tempat berdagang karena berjualan di darat dirasa sudah tidak ramai lagi. Sebabnya, air yang pasang surut membuat para pembeli yang menggunakan perahu atau kapal kesulitan menjangkau warung-warung yang berada di tepi sungai. Daerah Muara Mantuil memang ramai dilewati perahu dan kapal karena pertemuan dengan Sungai Barito. Dari jauh terlihat tongkang-tongkang dengan gundukan hitam batubara melintas.

“Kalau pasang enak saja, tapi kalau surut pembeli yang susah, harus naik pakai tangga,” kisahnya yang ditemui Radar Banjarmasin di rumahnya di Jl Ujung Benteng Pulau Bromo Kelurahan Mantuil Kecamatan Banjarmasin Selatan dengan suara agak terbata.


Pada tahun 1980-an itu, di Muara Mantuil terdapat sekitar 10 rumah lanting yang mengapung agak menjorok ke tengah sungai.  Sekarang, rumah lanting yang masih eksis tinggal empah buah. Sisanya sudah berubah menjadi rumah permanen dengan balok-balok kayu yang ditancapkan ke dasar sungai sebagai penopang. Sebagian ada yang ditarik ke darat, sebagian lagi posisinya tetap di tengah karena sungai di bawahnya dangkal. Tapi ini ada alasannya.

"Harga bambu untuk pengapung sekarang Rp 25 ribu sebatang!" cetusnya.

H Kaspul Anwar (60), salah seorang yang masih menempati rumah lanting mengapung di Muara Mantuil mengatakan, tinggal di rumah lanting sangat boros. Pasalnya, bambu yang digunakan sebagai pengapung harganya semakin mahal. Padahal, bambu-bambu tersebut harus rutin diganti setiap 1,5-2 tahun sekali.

Dulu, harga sebuah bambu hanya Rp 600. Sekarang, naik berlipat-lipat hingga mencapai Rp 25 ribu perbuah kalau membeli partai, dan Rp 35 ribu perbuah untuk eceran. Setiap rumah lanting ditopang empat sampai enam ikat bambu tergantung ukuran lanting, dan setiap ikatan terdiri dari sekitar 100 turus bambu. Jadi, untuk satu ikat bisa habis Rp 2 juta lebih. Kalau mengganti semua, bisa Rp 10 jutaan.

“Mau ditajak seperti yang lain, biayanya lebih besar lagi, cuma sekali itu saja. Sementara begini saja dulu sambil menunggu rezekinya,” imbuhnya.

Ada yang unik bila ada di antara pemilik lanting yang ingin mengganti bambu pengapung lantingnya. Si pemilik akan besaruan dengan para tetangga, lalu para tetangga beramai-ramai datang untuk membantu, tak peduli saat itu mereka hendak pergi berhuma atau ada pekerjaan lain, semua ditinggalkan.

“Orang-orang berdiri di atas ikatan bambu, lalu bambu yang busuk dikeluarkan dan yang baru dimasukkan, begitu terus sampai semua selesai diganti,” tuturnya.

Setelah prosesi ini tuntas, tetangga yang sudah bersedia membantu tadi dijamu makan. Ini sudah menjadi tradisi dan bertahan hingga kini. Ihwal bagaimana ia bisa tinggal di rumah lanting, H Kaspul mengungkapkan bahwa dulunya ia tinggal di darat dan bekerja tani. Sekitar 20 tahun lalu, istrinya ingin membuka usaha untuk menambah penghasilan. Ia lalu membeli rumah lanting sang paman dan membuka warung kelontong sampai sekarang.

“Sekarang ini musim paceklik, yang ramai itu kalau lagi musim tanam,” katanya.

Hal yang sama juga menjadi alasan keluarga Hj Ruhayah (42) bermigrasi dari darat ke air sekitar 10 tahun lalu. Selain ditinggali, rumah lantingnya yang tepat bersisian dengan H Kaspul juga digunakan untuk berjualan, mulai sembako sampai sparepart kapal. Bedanya, ia membangun sendiri rumah lantingnya dengan ukuran 10x5 meter dan menghabiskan uang sekitar Rp 2,5 juta.

Di dalamnya ada sebuah kamar dan dapur. Tampak alat-alat rumah tangga lengkap, mulai televisi, kulkas, dispenser, sampai mesin cuci. Di tengah rumah, cucunya yang masih bayi tertidur lelap dalam ayunan. Beberapa kali kelotok atau perahu mesin lewat, tapi rumah terasa tetap tenang.

“Itu karena isi rumahnya berat, jadi tidak terlalu bergoyang kalau ada gelombang,” ucapnya.

Rumah lanting sejatinya adalah identitas yang paling mewakili masyarakat sungai, khususnya di Kalimatan bagian selatan. Menelusuri sejarah keberadaan lanting di kota seribu sungai ini, maka kita akan menemukan filosofi hidup yang sangat luhur. Dituturkan Prof MP Lambut, lanting merupakan bentuk awal kehidupan sebelum pemukiman di darat berkembang.

“Lanting pernah jadi pertahanan orang Banjar terhadap serangan Belanda. Mereka menyembunyikan meriam di lanting dan menembaki kapal Belanda sambil belarut,” tutur guru besar Unlam yang sejak tahun 1985 hingga sekarang menjadi peneliti UNESCO untuk pengkajian borneo itu.

Sebelum urang Banjar memeluk agama besar dunia, entah Islam, Kristen, Hindu, atau Budha, mereka mempercayai sungai adalah tempat kehidupan yang abadi. Dengan tinggal di lanting, mereka tak perlu pergi kemana-mana untuk mencari air atau ikan. Mereka juga tinggal memungut kayu-kayu yang hanyut untuk memasak. Hanya saat berhuma saja mereka naik ke darat.

“Lanting adalah rumah yang paling tepat untuk daerah pasang surut. Lanting juga aman dari banjir, gempa, longsor, atau badai,” sambungnya.

Semasa kecil, dosen paling tua (81 tahun) di Unlam yang sehari-hari masih aktif mengajar di FKIP jurusan Pendidikan Bahasa Inggris itu pernah merasakan hidup di atas lanting. Ia masih ingat bagaimana dulu ibu-ibu menyanyikan lagu untuk anaknya yang tidur  nyenyak di ayunan. 

“Kalau malam, saya mendengar orang-orang mengaji. Melihat lampu kelap-kelip. Hidup tenteram. Itulah karakter orang Banjar yang saya kenal, yang tidak punya ambisi apa-apa,” kenangnya.

Lanting, lanjutnya, adalah simbol kehidupan bersama alam. Dulu, orang yang tinggal di lanting biasa meletakkan telur di salah satu sudut lanting, dan nasi ketan di sudut yang lain. Maksudnya, memberi makan untuk saudara di 'sebelah'.

Ia juga menegaskan, lanting adalah model rumah yang paling ramah lingkungan. Lanting tak perlu AC, karena air di bawahnya adalah penyejuk sehingga hemat energi. Memang benar, lanjutnya, orang lanting membuang kotoran dan sampah rumah tangganya ke sungai. Tapi orang Banjar punya pamali, bahwa tidak patut kotoran yang dibuang terlihat orang lain, maka dibuatlah tempat buang air berupa kotak yang ditancap hingga ke dasar sungai.

"Kotoran itu tidak berbau larut karena larut dalam air dan menjadi makanan ikan," katanya.

Dijelaskannya lebih lanjut, sampah yang dihasilkan penghuni rumah lanting juga tidak seberapa karena lanting biasanya dihuni keluarga kecil dan hidup secara sederhana dengan hanya memanfaatkan apa yang diberikan alam. Karena itu, sampah yang dihasilkan masih mampu diakomodasi alam. 
“Polusi sungai bukan karena orang lanting, tapi orang darat yang membuang semua apa yang di darat ke sungai yang tidak mungkin diakomodasi oleh alam,” ucapnya. 
Ketika naik ke darat, sambungnya, orang cenderung hanya mementingkan diri sendiri. Di lanting, orang hidup bersama dan hanya mengambil apa yang boleh diambil. 
“Raja-raja membuat istana di darat, dan semua kita ingin jadi raja,” katanya filosofis.

Ia tak tahu pasti berapa jumlah lanting yang masih tersisa saat ini, khususnya di Banjarmasin. Yang pasti, lanting yang ada sekarang hanya sisa dan kebanyakan yang tinggal di lanting bukan dari keturunan yang semula, serta hanya jadi tempat berdagang. 

“Di beberapa negara yang juga berbasis sungai, seperti Thailand, rumah lanting kembali menjadi tren. Orang-orang kaya yang sudah lelah di darat ‘turun’ ke air dan membangun lanting nan megah dengan teknologi pengapung yang lebih maju. Tak hanya rumah, hotel juga dibuat mengapung di air dan dikomersilkan dengan tarif selangit,” paparnya. 

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kota Banjarmasin pernah mencetuskan niat untuk menghidupkan kembali rumah lanting yang menjurus punah. Tapi di telinganya, ide itu terdengar utopis. Tak selamanya sejarah yang hilang bisa diulang. Bukan hanya masalah kayu yang makin langka dan harga bambu yang meroket. Tapi utamanya karena sungai tak lagi mampu menjadi sumber kehidupan.

“Zaman saya sekolah SMP Belanda tahun 1946-1950, saya biasa melunta dari Jembatan Pasar Lama sampai depan Sabilal. Dua kali bolak-balik bisa dapat 10 kg ikan. Sekarang kemana ikannya?” tukasnya. 

Sebagai pengkaji borneo untuk UNESCO, ia pernah melakukan penelitian terhadap kualitas air Sungai Martapura. Hasilnya, sungai sudah tercemar logam berat tiga kali ambang yang aman, terutama akibat aktivitas pertambangan emas di hulu. Dalam waktu kira-kira 30 tahun ke depan, anak-anak perempuan terancam menjadi mandul dan yang laki-laki gagal ginjal. 

“Kita hidup kaya dengan mengorbankan hidup yang terus berlanjut. Orang berlomba di darat dan membuang yang kotor ke sungai, sehingga sungai tidak lagi membuat kita hidup,” tutupnya. 

Tidak ada komentar: