Alasan Pertamina Soal Kelangkaan
BANJARMASIN – Baru dua pekan bertugas di Kalimantan Selatan, Sales Representative LPG Pertamina Kalsel Chaerul Anwar langsung dipusingkan masalah kelangkaan elpiji 3 kg.
Selama dua pekan itu, ia mengaku telah berkeliling ke sejumlah daerah di Kalsel. Hasilnya, ia menemukan bahwa elpiji 3 kg justru lebih mudah didapat di daerah yang belum melaksanakan konversi, misalnya Kabupaten Barito Kuala dan Tanah Laut. Padahal, di kota dan kabupaten yang sudah melaksanakan konversi, seperti di Banjarmasin, malah terjadi kelangkaan dan gejolak harga.
“Artinya, banyak oknum melarikan kuota Banjarmasin,” ujarnya dalam rapat dengan Komisi II DPRD Kota Banjarmasin dan sejumlah SKPD terkait kelangkaan elpiji 3 kg, Selasa (14/5).
Menurutnya, oknum itu adalah para pengepul dari luar daerah. Modusnya, mereka membeli dari para pengecer di Banjarmasin dengan harga tinggi, lalu dijual lagi di daerah yang belum melaksanakan konversi.
Padahal, sejak tahun 2013 distribusi elpiji 3 kg menerapkan sistem kuota. Pasokan elpiji 3 kg yang sudah terbatas ini kemudian diselundupkan lagi, praktis kelangkaan tidak bisa dihindari.
“Yang saya ketahui, kalau pelakunya agen kecil kemungkinannya. Justru konsumen di sana ke sini, pakai pikap, dan berani naikkan harga. Kami ada bukti foto,” ucapnya.
Ia mengatakan, masalah ini di luar kontrol Pertamina, sehingga pihaknya tidak bisa menindaklanjuti meski mengantongi bukti. Untuk pengawasan pun sulit karena pelakunya masyarakat dan kapan mereka melakukan aksinya juga tidak bisa ditebak.
“Jadi, itu bukan solusi. Solusi yang paling tepat adalah menyelesaikan konversi di sembilan kabupaten yang lain,” sambungnya.
Diungkapkannya, ada lima kabupaten di Kalsel yang rencananya bakal segera melaksanakan konversi, yakni Batola, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Tanjung. Ada 260 ribu paket tabung elpiji 3 kg dan kompor gas yang dialokasikan.
Hal senada dikatakan Ketua DPD Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Kalsel Addy Chairuddin Hanafiah. Dulu pihaknya sempat mengalami kesulitan dalam memasarkan elpiji 3 kg. Lalu, tiba-tiba saja gelombang permintaan naik seiring pertambahan pengguna dan jumlah penduduk, termasuk permintaan dari daerah yg belum melaksanakan konversi sehingga terjadi kebocoran atau rembesan.
“Harusnya konversi empat kota dan kabupaten yang mulai 2010, 2011 tuntas. Sisanya tahun 2012 tuntas, sampai sekarang belum tuntas. Eh kita belum tuntas, malah loncat ke Kalteng. Padahal, di Jawa setahun konversi sudah tuntas,” tuturnya.
Dalam rapat kemarin, sempat tercuat usul melarang penjualan elpiji 3 kg di pengecer. Hal itu berdasarkan temuan Pertamina bahwa kebocoran awam terjadi di tingkat eceran.
“Kalau melanjutkan konversi itu kan solusi jangka panjang. Yang sekarang langka ini bagaimana, apakah perlu agen atau pangkalan saja yang langsung menjual ke konsumen?” ucap anggota Komisi II M Isnaini.
Lagi-lagi, itu juga dinilai Pertamina bukan solusi konkret. Jumlah pangkalan yang tidak merata dikhawatirkan tidak bisa menjangkau masyarakat yang jauh.
“Yang jadi kendala memang kalau disalurkan ke pengecer, banyak kerancuan. Pemda yang bisa usulkan titik jual terakhir di pangkalan. Itu akan sangat membantu kami. Tapi jumlah pangkalan terbatas, di daerah pelosok susah kalau tidak ada pengecer,” kata Chaerul.
Sedangkan menurut Ketua DPD Hiswana Migas Kalsel Kalsel Addy Chairuddin Hanafiah, walaupun pangkalan dijadikan sebagai titik penjualan akhir, rembesan tetap berpeluang terjadi.
“Itu mekanisme pasar. Masyarakat tetap bisa beli 2-3 tabung dari pangkalan, lalu dia jual lagi,” tukasnya.
Lagipula, lanjut Addy, praktik pengecer itu sudah ada sejak zaman minyak tanah dan menggerakkan ekonomi masyarakat.
“Yang jual di warung atau gerobak keliling itu ada yang sudah puluhan tahun. Kalau dilarang, lantas mereka bagaimana?” sambungnya.
Wakil Ketua Komisi II Mushaffa Zakir juga berpendapat sama. Untuk mencegah rembesan bukan dengan jalan meniadakan pengecer karena berkaitan dengan ekonomi masyarakat.
“Tidak hanya BBM yang dilangsir ternyata, tapi elpiji juga. Hanya secara pribadi, saya keberatan kalau pengecer elpiji dilarang,” imbuhnya.
Sementara itu, Kabid Perdagangan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Banjarmasin Sri Wahyuning mengatakan, belum ada aturan yang melarang pangkalan menjual selain ke pengguna akhir.
Akhirnya, dijual ke pengecer yang tidak tahu aturan yang menjual lagi dengan harga di atas HET (Harga Eceran Tertinggi).
“Itu juga belum ada aturannya bagaimana kalau dijual di atas HET. Maka kita akan coba koordinasi dengan dinas terkait lainnya apa perlu diatur pengecer untuk tidak menjual di atas HET,” katanya.
Operasi Pasar Belum Efektif
Penyaluran elpiji 3 kg di Kalsel selama empat bulan
terakhir telah melampaui kuota APBN sekitar 30 persen. Dari kuota perbulan
sekitar 1.300 MT (mektrik ton), realisasi rata-rata menembus 1.800 MT.
sedangkan kuota sampai akhir tahun ditetapkan 15.878 MT.
Sales Representative
LPG Pertamina Kalsel Chaerul Anwar mengatakan, sebenarnya sistem kuota sudah
dipakai sejak 2012. Waktu itu realisasi penyaluran elpiji 3 kg mengalami over
quota sekitar 26 persen.
“Sistem kuota efektif mulai 2013. Tapi di awal Januari belum
ada acuan kuota, makanya aman. Ketika Kementerian ESDM munculkan kuota, praktis
alokasi harus disesuaikan kuota,” ungkapnya.
Pemerintah menghitung kebutuhan elpiji 3 kg di Kalsel
rata-rata 6,1 kg perkepala keluarga perbulan atau dua tabung. Kemudian, elpiji
3 kg diperuntukkan bagi masyarakat kecil dengan penghasilan di bawah Rp 1,5
juta. Di atas itu, harusnya menggunakan elpiji 12 kg.
“Tapi kenyataannya kan sulit dikontrol. Sama kasusnya
seperti Pertamax,” tambahnya.
Menurut Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kota
Banjarmasin Lily Dwiyanti, kuota itu sebenarnya cukup, asal tidak disimpangkan.
“Kami melakukan survei di Banjarmasin, hasilnya kebutuhan
perkepala keluarga cukup dua tabung perbulan,” katanya.
Tapi, menurut Ketua DPD Hiswana Migas Kalsel Addy Chairuddin
Hanafiah, pihaknya sudah menyarankan bahwa seharusnya untuk elpiji 3 kg tidak
ada kuota karena bisa digolongkan kebutuhan pokok.
“Kalau bensin bolehlah, bukan kebutuhan primer. Tapi memasak
tiga kali sehari, kalau elpiji tidak ada penggantinya bagaimana?” tukasnya.
Soal kebutuhan elpiji 3 kg di Kalsel, ia menuturkan bahwa
saat konversi akan digulirkan tahun 2010, kebutuhan setiap rumah tangga
diperhitungkan tiga tabung perbulan. Itu tidak termasuk para pedagang kaki
lima, kebutuhannya lebih besar.
“Tapi ternyata mengecil,” sambungnya.
Yntuk mengatasi kelangkaan elpiji 3 kg sekaligus
mengendalikan harga, Pertamina sebenarnya sudah melakukan extra dropping atau
penambahan alokasi serta menggelar operasi pasar.
Operasi pasar sendiri digelar selama bulan Mei ini di
sembilan SPBU di empat kota dan kabupaten yang sudah melaksanakan konversi. Ada
72.360 tabung yang digelontorkan secara bertahap sampai akhir bulan.
“Sampai akhir bulan ini, penyaluran elpiji 3 kg ditargetkan mencapai 1.850 MT, jauh lebih besar dari bulan-bulan sebelumnya,” terang Sales Representative LPG Pertamina Kalsel Chaerul Anwar .
“Sampai akhir bulan ini, penyaluran elpiji 3 kg ditargetkan mencapai 1.850 MT, jauh lebih besar dari bulan-bulan sebelumnya,” terang Sales Representative LPG Pertamina Kalsel Chaerul Anwar .
Namun, operasi pasar yang sudah digelar beberapa kali
tampaknya belum mampu meredam kelangkaan maupun gejolak harga elpiji 3 kg di
masyarakat.
“Tanggal 3-4 Mei kami pantau, harga di eceran masih tinggi,
ada yang berani jual Rp 20-21 ribu. Di pangkalan kami cek juga kadang stoknya ada,
kadang tidak. Kemudian, elpiji 12 kg juga naik harganya, ada yang sampai Rp 130
ribu,” beber Kabid Perdagangan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota
Banjarmasin Sri Wahyuning.
Sementara Hiswana Migas menilai operasi pasar lebih efektif dan kena sasaran jika diadakan di kantor kelurahan, bukan di SPBU seperti sekarang.
Sementara Hiswana Migas menilai operasi pasar lebih efektif dan kena sasaran jika diadakan di kantor kelurahan, bukan di SPBU seperti sekarang.
“Operasi pasar di kelurahan 80 persen efektif,” tegas Ketua
DPD Hiswana Migas Kalsel Addy Chairuddin Hanafiah.
Pihaknya juga menyarankan agar Pertamina menambah jatah
extra dropping. Pasalnya, hal itu efektif saat diberlakukan pada kelangkaan BBM
dan ampuh membubarkan antrean kendaraan di SPBU.
“Ada empat hari extra dropping, tapi itu belum mengembalikan
volume penyaluran seperti sebelum ada kuota. Memang Pertamina tidak bisa
disalahkan, karena kuota urusan pemerintah. Tapi idealnya extra dropping hingga
15 hari, seperti BBM waktu kemarin langka diguyur terus-terusan SPBU akhirnya
kosong,” jelasnya.
Sedang Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Banjarmasin Mushaffa Zakir mengkhawatirkan penyaluran elpiji 3 kg setelah bulan Mei yang belum pasti. Ini mengingat bulan-bulan di depan akan banyak dihiasi hari-hari besar Islam.
Sedang Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Banjarmasin Mushaffa Zakir mengkhawatirkan penyaluran elpiji 3 kg setelah bulan Mei yang belum pasti. Ini mengingat bulan-bulan di depan akan banyak dihiasi hari-hari besar Islam.
“Masuk Rajab, Sya’ban, dan Ramadan, kita tahu bagaimana kebiasaan masyarakat kita
menyambut bulan-bulan itu. Kalau tidak dilanjutkan (penambahan alokasi), nanti
kita harus rapat lagi,” ucapnya.
Kemudian, pihaknya sependapat jika operasi pasar dialihkan
tempatnya ke kelurahan untuk lebih mendekati masyarakat. Pihaknya juga
mengharapkan semua pihak terkait benar-benar menjaga pendistribusian elpiji 3
kg yang berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar